Saya Prajurit Setia
Bagi kita, Buku Putih, siapa pun penulisnya,
hanya kebenarannya yang pada akhirnya akan bicara. Walau manusia pintar
memutih-mutihkan dirinya, manusia bisa dikelabui, tetapi tidak setitik
pun bagi Tuhan YME. Tuhan mengetahui betul isi buku putih itu
benar-benar putih, atau hitam yang coba diputih-putihkan.
[Kata Pengantar dari Penerbit “TOTALITAS”]
Inilah
sosok Prabowo: Seorang pebisnis Indonesia yang sedang kelelahan pada
usianya yang mendekati 50 [tulisan ini dirilis tahun 2000], jauh dari
keluarga, terus menerus dalam perjalanan. Ada lagi sisi Prabowo yang
lain; penyiksa orang-orang tak bersalah di Timor Timur, penculik para
aktivis pro-demokrasi, otak kerusuhan dan perkosaan di Jakarta bulan Mei
1998, konspirator kudeta yang gagal yang mencoba menyandera seorang
presiden Indonesia.
Prabowo yang disebut pertama adalah Prabowo
sebagai daging dan darah atau tubuh seorang manusia, sedang sisi Prabowo
lainnya adalah ciptaan guntingan berita dan rumor. Prabowo yang disebut
pertama kini hidup di luar Indonesia terutama karena sisi reputasinya
itu telah menggantikannya. Prabowo si perancang jahat merupakan cerita
yang lebih menarik bagi para wartawan, merupakan seteru yang lebih mudah
ditempa jadi berbagai bentuk bagi para aktivis dan kambing hitam yang
lebih gampang bagi para politisi. Sekali-sekali, ada saja orang yang
berteriak Prabowo agar dipanggil pulang untuk diadili. Namun demikian,
orang jadi bertanya-tanya, apa gerangan rintangan yang lebih menghalangi
jalan menuju keadilan di Indonesia: realitas atau mitos?
Untuk
sampai pada realitas itu, staff correspondent Asiaweek untuk Indonesia,
Jose Manuel Tessoro, bukan hanya mengadakan wawancara mendalam dengan
Prabowo, yakni wawancara pertama dengan sebuah publikasi internasional
sejak Mei 1998, Tessoro juga melakukan investigasi. Hasilnya adalah
uraian bernuansa tinggi tentang peristiwa-peristiwa dramatis, yang di
dalamnya sejumiah perorangan mengemukakan pendapat atau argumentasi yang
didasarkan pada ambisi, kepentingan sendiri, loyalitas dan ketakutan.
Apakah Prabowo bersalah atas peristiwa 1998? Menurut dia sendiri, tidak!
Tetapi ia tidak menyebutkan siapa, meskipun berdasarkan persepsi
mengenai pertarungan Presiden Wahid dan Jenderal Wiranto baru-baru ini,
ini adalah sesuatu yang senantiasa dilupakan.
Kini muncul
tuntutan-tuntutan, membuka kembali kasus-kasus lama: serangan-serangan,
kekejaman dan inisiden lain di waktu lampau. Barangkali saja, setelah
beberapa dasawarsa tidak ada pertanggungjawaban dari para pemimpin,
rakyat Indonesia ingin mengetahui yang sebenarnya dan ingin
mengendalikan urusan politik. Dengan memaparkan ceritanya, Prabowo
sendiri –disadari atau tidak- malahan membantu memulai proses itu.
Kambing Hitam?
Arkian
malam hari, pada tanggal 21 Mei 1998, lusinan prajurit mengambil posisi
sekitar Istana Merdeka dan rumah kediaman Habibie, yang kurang dari 24
jam sebelumnya telah menjadi presiden ketiga Indonesia. Komandan dari
pasukan ini adalah Letnan Jenderal Prabowo Subianto yang ganas.
Seminggu
sebelumnya, ia telah mengatur pasukan-pasukan gelap ini dalam keadaan
siap menunggu perintah -pasukan khusus rahasia, penjahat-penjahat pusat
kota, muslim radikal untuk membunuh, membakar, memperkosa, menjarah, dan
menyebarkan kebencian etnis ke dalam hati penduduk Jakarta. Tujuannya
adalah untuk merongrong rivalnya, Panglima ABRI, Jenderal Wiranto dan
untuk memaksa mertuanya, Soeharto, mengangkatnya sebagai pimpinan
Angkatan Darat –suatu langkah yang dalam waktu huru-hara akan lebih
mendekatkan Prabowo menjadi presiden.
Pengunduran diri Soeharto yang
prematur dari kedudukan presiden menggagalkan ambisi Prabowo. Maka ia
mengerahkan amarahnya kepada Habibie. Bencana buat Indonesia -dan mimpi
buruk bagi Asia Tenggara- boleh jadi akan menyusul, jika tidak karena
datangnya perintah dari Wiranto untuk membebas-tugaskan Jenderal yang
tak terkendali itu dari posisi komando. Diamuk amarah, Prabowo membawa
pasukannya ke halaman istana dan mencoba mendobrak masuk dengan senjata
lengkap ke dalam kamar-kamar Habibie. Tetapi akhirnya ia diperdayakan.
Percobaan kudetanya merupakan klimaks dari drama 10 hari yang mengitari
kejatuhan Soeharto, pemimpin Indonesia selama tiga dekade.
Masalahnya adalah tidak semua itu benar. Bahkan mungkin tidak satu pun di antaranya yang benar.
Yang
pertama mengatakan demikian adalah Prabowo. “Saya tidak pernah
mengancam Habibie,” katanya. Apakah Prabowo merencanakan kerusuhan bulan
Mei terhadap etnis Cina Indonesia untuk menjatuhkan Wiranto atau
Soeharto? “Saya tidak berada di belakang kerusuhan-kerusuhan itu. Itu
adalah bohong besar,” jawabnya tegas. “Saya tidak pernah mengkhianati
Pak Harto. Saya tidak pernah mengkhianati Habibie. Saya tidak pernah
mengkhianati tanah air saya.”
Prabowo, 48 tahun, bukanlah seorang
suci. Selama 24 tahun, ia menjadi anggota militer Indonesia, yang dengan
setia mematuhi perintah-perintah presiden. Ia membina Kopassus untuk
memerangi pemberontakan dan terorisme dalam negeri. Prabowo juga menikah
dengan putri kedua Soeharto dan ia menikmati kekayaan, kekuasaan, dan
kebebasan dari tanggung jawab yang dimiliki oleh keluarga presiden. Ia
mengakui penculikan sembilan aktivis pada permulaan 1998, yang beberapa
di antaranya mengalami penyiksaan. Kira-kira 12 orang lainnya yang
diduga diculik dalam operasi yang sama masih belum diketahui
keberadaannya.
Tetapi, apakah Prabowo itu iblis? Di bulan Agustus
1998, DKP [Dewan Kehormatan Perwira] menyatakannya bersalah dalam
menafsirkan perintah dan direkomendasikan untuk dikenakan sanksi atau
dihadapkan ke pengadilan militer, Prabowo kemudian dipecat. Dalam
laporannya di bulan Oktober 1998, mengenai kerusuhan bulan Mei, TGPF
[Tim Gabungan Pencari Fakta] meminta agar ia diperiksa mengenai
ketersangkutannya dalam kerusuhan-kerusuhan itu. Sejak itu media massa
Indonesia dan luar negeri mengaitkan namanya dengan kata-kata seperti
“rencana jahat”, kejam dan sembrono, “seorang fanatik yang haus
kekuasaan”. Sebuah surat kabar Asia menulis: “Ia disebut benci pada
orang Cina.” Keyakinan bahwa dialah yang mencetuskan kerusuhan-kerusuhan
dan gagal mengekangnya telah masuk ke dalam buku-buku sejarah. “Sayalah
monster di belakang segala-galanya,” kata Prabowo dengan ironi yang
tidak disembunyikannya.
Kendati begitu, hampir dua tahun setelah
Soeharto mengundurkan diri, belum juga ada bukti yang mengemuka yang
menghubungkannya dengan kerusuhan-kerusuhan yang memicu pengunduran diri
itu. Gambaran lengkap dari hari-hari itu masih saja kabur oleh
cerita-cerita yang saling bertentangan dan narasumber-narasumber yang
tidak disebut namanya. Di bulan September 1998, Marzuki Darusman, yang
pada waktu itu Ketua TGPF dan sekarang Jaksa Agung, mengungkapkan
renungannya kepada wartawan: “Saya kira masalahnya bukan hanya sekedar
Prabowo. Saya akui ia adalah pemegang rahasia yang ketat. Dan mungkin ia
cenderung mengungkapkan sedikit kalau terpaksa. Prabowo telah diadili
oleh opini publik dan dinyatakan bersalah. Tetapi ia tidak pernah
mendapat kesempatan untuk memberikan kesaksiannya. Ia kini menghabiskan
seluruh waktunya di luar negeri, walaupun surat kabar-surat kabar
setempat mengatakan bahwa ia mengada-kan kunjungan singkat, yang tidak
banyak diketahui orang di bulan Januari lalu, kunjungan pertama dalam 15
bulan (istrinya menetap di Indonesia, putra mereka belajar di Amerika
Serikat).
Apa yang muncul dari uraian Prabowo sendiri, dirangkaikan
dengan penyelidikan independen yang dilakukan Asiaweek, adalah kisah
yang jauh berbeda, lebih bernuansa daripada penilaian yang sejauh ini
diterima di kalangan luas bahwa kejatuhan Soeharto bermula pada
pertarungan antara yang baik dan yang jahat, -dan bahwa Prabowo adalah
sang penjahat. Kisah ini adalah laporan dari dan tentang elite politik
Indonesia, suatu pengungkapan mengenai sifat perubahannya yang berbahaya
dan kompleksitas para pelakunya. Laporan ini menentang apa yang selama
ini diterima oleh banyak pihak mengenai negeri ini: militernya, keluarga
penguasa yang lalu, sejarahnya. Keputusan apapun yang Anda simpulkan,
Anda tidak akan mungkin lagi melihat kejatuhan Soeharto di masa lampau
-atau kecaman-kecaman pedas dan konflik-konflik yang berkecamuk sekarang
ini- dengan cara yang sama.
Masa Menjelang Peristiwa
Banyak
cerita yang beredar di Jakarta mengenai Prabowo. Dalam narasi populer
mengenai kejatuhan Soeharto, bekas perwira pasukan khusus itu sering
digambarkan sebagai perancangnya: seorang jenius jahat yang, kalau ia
mau menjelaskannya, dapat menunjukkan bagaimana seluruh busur lingkaran
peristiwa-peristiwa yang dirancangnya terdiri dari suatu konspirasi yang
cerdik, namun memiliki cacat yang mematikan. Tetapi pada akhir
kekuasaan Soeharto, ia bukan satu-satunya tokoh. Ada banyak pelaku,
dengan demikian banyak motif dan manuver. Di tengah-tengah kerusuhan
sosial dan keruntuhan ekonomi, bagi para elite di Jakarta sudah jelas
jauh sebelum Mei 1998, bahwa persoalannya bukanlah apakah presiden akan
melangkah turun, melainkan kapan. Buat mereka, yang paling penting
adalah bagaimana supaya survive atau bahkan memperoleh keuntungan. Itu
berarti memainkan suatu permainan yang sulit: tetap di tempat atau
setidak-tidaknya kelihatan tetap di tempat -tanpa ragu-ragu setia kepada
Soeharto- namun pada saat yang sama bergerak ke posisi yang tebaik demi
masa depan tanpa Soeharto.
Para Mahasiswa dan rakyat yang
beroposisi, walaupun mendapat sorotan yang menonjol, adalah permainan
yang paling tidak berkekuatan. Keputusan-keputusan yang sesungguhnya,
diambil di sekitar presiden yang uzur itu. Ada anak-anak Soeharto. Ada
Wapres Habibie. Ada menteri-menteri dan pimpinan MPR/DPR. Dan ada
angkatan bersenjata, dengan kedua jenderal utama, Wiranto dan Prabowo.
Dalam
masa menuju bulan Mei, Prabowo berada nyaman di tengah. Di bulan Maret
1998, ia dipromosikan dari komandan Kopassus, untuk memimpin Kostrad.
Jabatan baru ini menjadikannya jenderal berbintang tiga. Teman
sekelasnya dari Kopassus, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin telah menjadi
komandan garnisun Jakarta sejak September 1997 (Pangdam Jaya). Bekas
atasan Prabowo di Kopassus, Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, berkedudukan
sebagai Kasad. Teman-teman lain, termasuk bos Kopassus, Mayjen Muchdi
Purwopranjono.
Satu-satunya jenderal yang tidak sejalan dengan
Prabowo adalah atasannya, Wiranto. “Antara kami berdua tidak ada
kesesuaian yang serasi,” kata Prabowo. “Kami tidak pernah bertugas dalam
kesatuan yang sama. Kami berasal dari latar belakang yang beda.”
Wiranto dibesarkan di Jawa Tengah yang tradisional. Prabowo dibesarkan
di luar negeri, di ibukota-ibukota Eropa dan Asia. Sementara
penempatan-penempatan Prabowo adalah tugas-tugas lapangan dan tempur,
sedangkan Wiranto bertugas di jabatan-jabatan staf dan komando
teritorial. Setelah empat tahun sebagai ajudan Soeharto, Wiranto melesat
cepat dari Panglima Kodam Jaya menjadi Panglima Kostrad. Di tahun 1997,
ia menjadi Kasad. Bulan Mei 1998, Soeharto menjadikannya Panglima ABRI
dan Menhan.
(Asiaweek telah mengirim pernyataan-pernyataan dan
komentar Prabowo, maupun pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam artikel
ini kepada Wiranto. Ajudan Wiranto menjawab, bahwa sang jenderal
memutuskan untuk memberikan tanggapannya kepada Asiaweek dalam terbitan
kemudian).
Wiranto dan Prabowo seimbang. Tetapi dalam bulan Maret,
ketika MPR kembali memilih Soeharto dan menunjuk Habibie sebagai Wapres,
Prabowo tampaknya melangkah lebih tinggi. Ia adalah sahabat lama
Habibie. Mereka sama-sama memiliki temperamen Barat dan idealisme yang
optimistis. “Saya suka pada visi teknologi tingginya,” kata Prabowo.
“Itu menawan hati saya. Selalu saja ada ucapan: Kita akan tunjukkan
bahwa Indonesia bisa jadi besar.” Mereka sering bertemu. Bagi
rekan-rekannya sesama jenderal, Prabowo adalah pembela Habibie yang
paling bersemangat.
Melihat keadaan kesehatan Soeharto yang menurun
–ia terkena stroke ringan Desember 1997- kesempatan Habibie untuk
menggantikannya menjadi lebih baik dibandingkan para wapres sebelumnya.
Bagi Prabowo, kenaikan Habibie berarti kesem-patan menjadi bos militer:
“Beberapa kali dikatakannya: Jika saya menjadi presiden. Anda menjadi
panglima ABRI. Anda akan menjadi bintang empat.”
Artinya, andaikata terjadi suksesi yang teratur rapi.
Keruntuhan
rupiah yang mulai pada bulan Oktober 1997, telah mendatangkan
gelombang-gelombang keresahan sosial di seluruh Nusantara. Januari
berikutnya, sebuah bom meledak di sebuah apartemen di Jakarta yang
dihuni oleh anggota-anggota PRD terlarang. Pihak militer berusaha keras
menghadapi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang vokal. Beberapa
aktivis menghilang secara misterius. Pada tanggal 27 April, Pius
Lustrilanang mengungkapkan di depan umum -yang pertama diungkapkan oleh
para aktivis yang diculik- mengenai penculikan dan pengurungan dirinya
selama dua bulan. Ketika diinterograsi, kata Lustrilanang, ia disetrum
dan dibenamkan dalam air. Sekalipun Wiranto membantah dengan mengatakan
bahwa penculikan itu bukan kebijakan militer, namun kecurigaan rakyat
ditujukan kepada militer, dan terutama Kopassus yang pada waktu itu
masih diidentikkan dengan Prabowo.
Walaupun ia punya reputasi setia
kepada Soeharto. Prabowo juga terus berteman dengan para pengecam rezim
"Orde Baru". Mereka ini berkisah sejak dari Jenderal Nasution yang
dikecewakan, yang sezaman dengan Soeharto sampai kepada Adnan Buyung
Nasution yang turut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum, yang membela dan
membantu para aktivis anti-Soeharto. Prabowo membina hubungan pula
dengan tokoh-tokoh Islam yang merasa sebagai korban ketidakadilan
militer yang dipengaruhi Kristen dan pemerintah, maupun merasa
dikucilkan dalam perekonomian yang didominasi etnis Cina. Di antara
mereka adalah: Amein Rais, seorang profesor Yogyakarta yang
serangan-serangannya terhadap kekuatan Kristen dan modal Cina berubah
jadi kecaman terbuka terhadap Soeharto. Hubungan-hubungan Prabowo yang
tidak konvensional dan keakrab-annya dengan Habibie, membuatnya unik
bila dibandingkan dengan orang-orang lain yang mengelilingi Soeharto.
Kerusuhan-kerusuhan
Drama
bermula pada hari Selasa, tanggal 12 Mei, ketika Prabowo menerima
telpon. Beberapa orang mahasiswa tertembak mati dalam sebuah demonstrasi
di Universitas Trisakti. Naluri pertama Prabowo adalah menyalahkan
pasukan keamanan yang tidak disiplin. “Kadang-kadang polisi dan prajurit
kami begitu tidak profesional. Kami mendapat satuan-satuan seperti ini
... ya Tuhan, ini konyol. Itulah reaksi saya yang pertama.”
Merasa
akan datangnya situasi darurat, ia menuju Makostrad di Lapangan Merdeka,
tepat di samping garnisun Jakarta. Sebagai Pangkostrad, tugas Prabowo
adalah menyediakan orang dan peralatan. “Saya menyiagakan
pasukan-pasukan saya, untuk mengirimkan mereka,” katanya.
“Pasukan-pasukan ini selalu berada di bawah kendali operasional komandan
garnisun. Begitulah sistem kami. Pada dasarnya kapasitas saya adalah
sebagai penasehat. Saya tidak punya wewenang.”
Ia pulang ke rumah
jauh setelah tengah malam, tetapi pagi-pagi keesokan harinya sudah
berada kembali di Makostrad, tanggal 13 Mei. Sementara
gerombolan-gerombolan liar mulai menjarah dan membakar gedung-gedung,
Prabowo sepanjang hari memikirkan bagaimana cara bergerak masuk dan
menyiagakan batalyon-batalyonnya. Kerisauan lain: Wiranto telah
direncanakan akan memimpin upacara angkatan darat keesokan paginya di
Malang, Jawa Timur –jaraknya 650 km lebih dari ibukota yang sedang
kacau. Sepanjang hari tanggal 13, kata Prabowo, ia mencoba membujuk
Wiranto agar membatalkan penampilannya. “Saya menyarankan agar kami
membatalkan upacara di Malang,” katanya. “Hasilnya: tidak. Upacara jalan
terus. Saya telpon kembali. Bolak-balik delapan kali saya menelepon
kantornya. Delapan kali saya diberitahu bahwa acara jalan terus.”
Jadi
pukul enam pagi, pada hari Kamis, tanggal 14, Prabowo tiba di Halim.
Katanya, mengingat keadaan yang sedang tegang ia heran melihat sebagian
besar perwira senior berada di sana. Dalam penerbangan dan upacara,
katanya, ia dan Wiranto tidak banyak bicara satu sama lain. Mereka tiba
di ibukota kembali setelah tengah hari. Prabowo kembali ke Makostrad, di
mana ia berpapasan dengan Sjafrie. Pangdam Jaya itu akan melakukan
tinjauan ke bagian barat ibukota dengan helikopter, Prabowo menerima
ajakan Sjafrie untuk menemaninya. Selagi mereka mengamati kerusuhan hari
kedua dari udara yang berasap, Prabowo ingat bertanya kepada dirinya
sendiri: “Mengapa hanya sedikit pasukan yang ada?”
Kira-kira pukul
15.30, ia meninggalkan Makostrad untuk menjumpai Habibie. Presiden
berada di Cairo, Mesir, sejak 9 Mei menghadiri sebuah konferensi puncak.
Wapres dan Prabowo bicara mengenai kemungkinan terjadinya suksesi.
Prabowo menyebutkan bahwa berdasarkan konstitusi, Habibie akan
menggantikan presiden. Kemudian muncul permbicaraan mengenai panglima
militer yang akan datang. “Harusnya saya sudah melihat adanya
perubahan,” kata Prabowo. “Ia mengatakan: kalau nama Anda muncul, saya
akan setujui. Sekarang sudah ada perubahan besar.”
Dalam
perjalanannya kembali ke Makostrad, Prabowo memperhatikan bahwa urat
nadi bisnis utama di Jakarta tampaknya tidak terjaga. Ia menemui
komandan garnisun: “Saya katakan: Sjafrie, di Jalan Thamrin tidak ada
pasukan. Ia yakin bahwa di sana cukup pasukan. Ia mengajak saya turut
pergi, dan kami lihat!” Prabowo menyarankan mengambil separuh dari 16
kendaraan lapis baja yang sedang mengawal Departemen Pertahanan dan
mengirimkannya ke Jalan Thamrin. Ini dilaksanakan.
Ketika malam tiba,
Prabowo mendapat telpon dari sekretarisnya, Buyung dan serombongan
tokoh berbagai kelompok ingin bertemu dengannya. (Pertemuan 14 Mei ini
kemudian menjadi sentral penyelidikan mengenai kerusuhan-kerusuhan yang
terjadi). “Ketika saya tiba di Makostrad, mereka sudah di sana,” kata
Prabowo. “Saya tidak panggil mereka. Mereka bertanya: Apa yang terjadi?”
Buyung Nasution ingin tahu apakah benar apa yang dikatakan oleh
desas-desus yang menyebar luas, bahwa Prabowo-lah yang merencanakan
kerusuhan-kerusuhan yang telah terjadi, penembakan Trisakti, maupun
penculikan-penculikan. Ia juga bertanya, apakah ada persaingan antara
Prabowo dari Wiranto. Prabowo membantah semuanya. “Mana bisa ada
persaingan?” Ia menjelaskan sekarang. “Ia bintang empat, saya bintang
tiga. Saya mencoba berada di garis urutan yang benar. Tetapi setelah
dia, saya akan menjadi calon yang punya harapan, bukan?”
Setelah
suatu briefing komando yang dipimpin Wiranto yang berakhir larut malam,
Prabowo tiba di tempat pertemuan berikutnya hampir pukul 1.00 dini hari.
Dua orang teman dekat dari NU menyarankan agar Prabowo menemui
Abdurrahman Wahid, yang sudah tidur ketika ia tiba. Namun demikian, Gus
Dur masih menerima Prabowo dan bertanya tentang situasi yang sedang
galau. “Saya katakan, kami akan dapat mengendalikannya besok,” kata
Prabowo.
Setelah tukar pakaian, ia menuju pangkalan udara Halim, di
mana Soeharto menurut jadwal tiba dini hari tanggal 15 Mei, Jumat.
Prabowo menunggu dalam mobil jeepnya, sementara Wiranto menyambut
Soeharto. Kemudian mereka bertiga, dengan sebagian besar perwira senior,
menuju ke kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Prabowo
mengatakan; Soeharto tampak bersikap dingin terhadapnya. Prabowo yakin,
Soeharto mengira menantunya sedang bersekongkol melawannya. Berkata
Prabowo; “itu dimuat dalam surat kabar-surat kabar bahwa Jenderal
Nasution -yang semua orang tahu menyukai saya- mengatakan agar Amien
Rais bicara kepada Jenderal Prabowo mengenai pemeliharaan situasi. Ini
tentu sudah disampaikan kepada Pak Harto.”
Pada akhir kekuasaannya,
Soeharto sudah menjadi tergantung kepada para menteri, para jenderal dan
anak-anaknya yang mengelilinginya sebagaimana halnya mereka tergantung
kepadanya. Ia adalah pemimpin mereka, tetapi dalam beberapa hal, ia juga
adalah tawanan mereka. “Ada suatu seni intrik istana yang sudah berusia
seribu tahun,” kata Prabowo. “Bisikkan sesuatu dengan sangat halus
kepada seseorang, dan racuni pikirannya. Saya mencoba memberikan
informasi, tetapi saya dianggap mencampuri soal yang bukan urusan saya.
Ada orang-orang yang meracuni pikirannya: bahwa keberadaan menantunya di
sana hanya untuk merebut kekuasaan.” Prabowo kini percaya, bahwa ini
turut menjadi penyebab kejatuhannya.
Pengunduran Diri
Cucuran
seruan yang menuntut perubahan, dengan cepat menjadi arus yang deras.
Fraksi-fraksi partai berkuasa, mantan-mantan jenderal -semua mulai
menuntut pengunduran diri presiden. Pada tanggal 15, pimpinan NU
menyampaikan pernyataan yang terdiri dari lima pokok. Salah satu pokok
menggaris bawahi rasa hormat mereka terhadap sikap Soeharto di Mesir, di
mana ia telah mengatakan; “Kalau saya tidak dipercaya lagi, saya akan
menjadi pandito.” Tanggapan NU itu adalah suatu cara diplomatis untuk
mengatakan bahwa mereka pun berpendapat masa kekuasaannya sudah habis.
Prabowo
melewatkan sebagian besar akhir pekan dari tanggal 15 hingga 17,
menangani pasukan-pasukannya di Makostrad. Pada Sabtu malam, tanggal 16,
ada sebuah pernyataan pers dari Mabes ABRI yang mendukung pendirian NU.
Prabowo langsung menemui Presiden. “Pak, ini berarti militer minta
Bapak turun!” Katanya kepada Soeharto.
Presiden menyuruh menantunya
mengecek ke Subagyo (Kasad), Prabowo mengatakan, Kasad mengatakan bahwa
ia belum tahu mengenai pendirian ini. Kedua jenderal tersebut melapor
kepada Soeharto. Pagi-pagi tanggal 17, Mabes ABRI menarik pernyataan itu
sebelum dimuat sebagian besar surat kabar. Menurut Prabowo, kemudian
pagi itu juga, Wiranto tiba di Cendana untuk menegaskan bahwa ia pun
tidak tahu mengenai pernyataan itu.
Jose Manuel Tessoro (koreponden
Asiaweek di Jakarta) memperoleh copy pengumuman pernyataan itu, yang
bertanggal 16 Mei. Pengumuman itu tidak memuat tanda tangan, juga tidak
menggunakan kepala surat ABRI. Untuk memahami keberadaannya, Jose Manuel
Tessoro menemui Brigjen A. Wahab Mokodongan, Kapuspen ABRI di bulan Mei
1998. Ia membenarkan bahwa pihak militer harus menariknya kembali,
tetapi ia menegaskan tidak tahu dari mana asalnya. Sehabis sebuah
konferensi pers larut malam, katanya, ia terkejut menemukannya dalam
berkas fotokopinya. Ketika ia melaporkannya kepada Wiranto, Pangab itu
memerintahkan diadakan penyelidikan. Mokodongan mengatakan pihak
intelijen mengecek komputer-komputer yang ada di seluruh kompleks Mabes
ABRI yang luas itu. “Tidak ada yang seperti ini,” katanya.
Jose
Manuel Tessoro berbicara dengan tiga orang wartawan Indonesia yang
meliput peristiwa-peristiwa 1998. Dua orang ingat bahwa mereka telah
menerima pernyataan itu waktu berlangsungnya konferensi pers Mokodongan.
(Salah seorang ingat Mokodongan membacakannya). Wartawan lain (wanita)
mengatakan bahwa majalahnya menerima fac-nya dari kantor Mokodongan.
Dengan demikian sumber asalnya tetap tersembunyi. Bagaimana bisa sebuah
pernyataan yang begitu peka muncul tanpa sepengetahuan Mokodongan atau
Panglima ABRI?
Pada tanggal 18, Prabowo bertemu dengan Amien Rais.
Tokoh oposisi itu seingat Prabowo mengatakan kepadanya: “Saya pikir
keadaan sekarang ini tidak bisa dipertahan-kan. Saya kira Anda harus
meyakinkan Pak Harto supaya mengundurkan diri.” Tetapi Prabowo sama
sekali tidak punya wewenang untuk melakukan itu. Di Cendana, malam itu,
katanya, ia berjumpa dengan Wiranto, yang menyampaikan kepadanya bahwa
anak-anak Soeharto ingin melawan. “Bagaimana kita bisa,” seru Prabowo.
Hari itu, Amien Rais telah mengeluarkan seruan untuk mengadakan
demonstrasi pada tanggal 20 Mei di Monas. Mencegah protes itu, yang
diperkirakan akan menarik ribuan orang, bisa mengakibatkan jatuhnya
banyak korban.
Berikutnya Prabowo bertemu putri sulung Soeharto, Siti
Hardiyanti Rukmana (Tutut). Kata Prabowo, Tutut bertanya kepadanya, apa
yang harus mereka lakukan berikutnya. “Saran saya,” katanya, “Anda
harus mengganti Wiranto, atau buatlah dekrit darurat. Soeharto tidak mau
melakukan satu pun dari kedua saran itu. Maka saya katakan: “Jalan lain
yang mana lagi?” Tutut bertanya kepada Prabowo, apa yang akan terjadi
kalau ayahnya turun? Prabowo menjawab: Berdasarkan konstitusi, Habibie
naik jadi Presiden.
Seruan langsung agar Soeharto mengundurkan diri
datang pada hari yang sama. Pada pukul 15.00 tanggal 18 Mei, sementara
gedung MPR/DPR dipenuhi oleh para mahasiswa yang berdemonstrasi, Ketua
MPR Harmoko meminta Soeharto mengundurkan diri. Malam harinya, Wiranto,
di depan konferensi pers yang dipenuhi wartawan, menyatakan bahwa
pernyataan Harmoko adalah “pendapat pribadi”.
Mengenai kehadiran para
mahasiswa di gedung MPR/DPR, pada malam sebelumnya Wiranto telah
bertemu dengan suatu kelompok termasuk pimpinan alumni Universitas
Indonesia, Hariadi Darmawan. Kelompok ini menegaskan bahwa para
mahasiswa beren-cana bergerak ke MPR dan membahas bagaimana cara terbaik
mencegah kemungkinan terjadinya kerusuhan. Ada orang yang menyarankan
agar para mahasiswa itu dikawal oleh militer atau diangkut dengan
kendaraan. Keesokan paginya, kata Panglima Kodam Jaya, Sjafrie,
diinstruksikan oleh dua orang ajudan Wiranto untuk menyiapkan
transportasi. Kira-kira pukul 10.00 pagi, katanya, ia juga diberi tahu
bahwa pimpinan MPR telah memberi izin masuk. Mahasiswa menolak sebagian
besar kendaraan militer, tetapi selama mereka datang dengan kendaraan,
Sjafrie menjamin perjalanan mereka ke gedung MPR tidak akan dihalangi.
Keesokan
harinya, tanggal 19 Mei, Prabowo berpartisipasi sepenuhnya dalam usaha
mengamankan Monas dari demonstrasi protes yang direncanakan Amien Rais.
Malam itu Wiranto bertemu dengan para perwira senior untuk membahas
demonstrasi tersebut. “Pertemuan yang dipimpin oleh Wiranto itu
mengatakan bahwa perintahnya ialah bagaimana pun demonstrasi itu harus
dicegah.” Seingat Prabowo, “Saya bertanya berkali-kali apa maksudnya.
Apakah kami menggunakan peluru tajam? Ia tidak mau memberikan jawaban
tegas.” Sepanjang malam, Amien Rais menerima utusan-utusan untuk
membu-juknya agar membatalkan demonstrasi itu. Ia akhirnya mengalah dan
demonstrasi yang dikhawatirkan itu dibatalkan. Tetapi pada tanggal 20
Mei, Soeharto dapat dua pukulan. Empat belas dari menteri-menterinya
mengundurkan diri dari kabinet. Dan secara berturut-turut orang-orang
yang diajaknya turut dalam sebuah “Komite Reformasi”, menolak.
Setelah
matahari terbenam, Prabowo mengunjungi Habibie. “Saya katakan
kepada-nya: Pak, kemungkinan besar, Pak Tua akan turun. Apa Bapak sudah
siap? Ia sudah siap. Ya ... ya ... ya. Kata saya: Bapak harus
mempersiapkan diri.” Dari rumah Habibie, Prabowo kembali ke Cendana.
“Setelah semua aman, saya masuk, masih mengenakan pakaian kamuflase,”
katanya. “Saya mengira akan memperoleh pujian, karena telah berhasil
mencegah demonstrasi. Tidak ada pembunuhan. Tidak ada korban. Prajurit
memegang teguh disiplin. Sjafrie telah melaksanakan tugasnya dengan
baik. Dan kemudian, bam!”
Di ruang dalam, kata Prabowo, keluarga
Soeharto sedang duduk bersama Wiranto. Yang pertama keluar adalah Siti
Hutami Endang Adiningsih putri bungsu Soeharto. Prabowo ingat: “Mamiek
melihat saya dan menudingkan telunjuknya kira-kira beberapa sentimeter
dari hidung saya, sambil berkata: Pengkhianat! Dan kemudian: Jangan
injakkan kakimu di rumah saya lagi. Jadi, saya keluar. Saya menunggu.
Saya ingin masuk. Saya katakan saya perlu penjelasan. Istri saya
menangis pula.” Prabowo pulang ke rumahnya. Keesokan paginya, tanggal 21
Mei, pukul 09.05 setelah MPR/DPR dan Kabinet berpaling dari Soeharto,
Presiden yang telah 32 tahun berkuasa itu, mengundurkan diri. Pidato
pengunduran dirinya yang singkat itu disiarkan ke seluruh Indonesia.
Sekalipun
mendapat hinaan malam sebelumnya di Cendana, Prabowo tetap saja
menghadiri upacara 21 Mei itu, untuk memberikan dukungan moril kepada
pengganti Soeharto, yaitu Habibie. Setelah Habibie mengucapkan sumpah,
Wiranto melangkah ke depan mengucapkan janjinya, akan melindungai
Soeharto dan keluarganya.
Ketika keluarga presiden berangkat kembali
ke Cendana, Prabowo ikut serta. “Saya ikut sekadar menghibur Pak Harto,
katanya. “Tetapi saya sudah dituduh sebagai pengkhianat. Situasinya
sangat tegang antara saya dan anak-anak Pak Harto lainnya. Kemudian
istri saya mengatakan kepada saya bahwa ada laporan-laporan yang
mengatakan saya mengadakan pertemuan-pertemuan dengan Habibie setiap
malam. Saya juga bertemu dengan Gus Dur, Amien Rais, Buyung Nasution.
“Tetapi kami tidak mengkoordinir kejatuhan Soeharto. Kami membicarakan
cara terbaik untuk meredakan kekerasan.” Soeharto tidak menjawab
permintaan Asiaweek untuk memberi tanggapan terhadap
pernyataan-pernyataan Prabowo.
Pemecatan
Habibie sudah menjadi
Presiden. Pukul 04.00 tanggal 21 Mei, Prabowo menjumpai sahabatnya itu
untuk menyampaikan ucapan selamat. “Ia mencium kedua belah pipi saya,”
kata Prabowo, yang minta diberi kesempatan bertemu pada malam harinya.
Larut
malam, Prabowo tiba di kediaman Habibie, ditemani oleh komandan
Kopassus, Muchdi. Oleh karena Wiranto mungkin akan tetap menjadi Menhan,
Prabowo menganjurkan agar Kasad Subagyo dijadikan Panglima ABRI guna
mencegah terlalu banyak kekuasaan di satu tangan. Langkah itu juga akan
membuat Prabowo menjadi calon terbaik menggantikan Subagyo. “Ya, saya
mencoba mempengaruhi Habibie,” kata Prabowo mengakui. “Saya dekat
kepadanya!” Kapan pun, kata Prabowo, ia tidak pernah mengancam presiden
yang baru itu. Setelah itu ia kembali ke Makostrad.
Keesokan harinya,
22 Mei, setelah shalat Jumat, telepon Prabowo berdering. Mabes Angkatan
Darat meminta bendera Kostrad. Prabowo mengenang, “Mereka minta bendera
saya. Itu berarti mereka mau mengganti saya.” Ia bergegas kembali ke
Makostrad. “Saya ingat Habibie pernah mengatakan: ‘Prabowo, bilamana
saja Anda dalam keraguan, datanglah kepada saya kapan saja dan jangan
pikirkan soal protokol.’ Saya telah mengenal orang ini selama
bertahun-tahun. Saya merasa, baiklah, saya akan mencari Habibie. Ia ada
di Istana. Jadi, saya pergi ke sana.”
Ia tiba siang menjelang sore,
dengan sebuah iring-iringan terdiri dari tiga mobil Land Rover yang
mengangkut staf dan pengawal. “Kami masuk,” kata Prabowo. “Keadaannya
sangat tegang. Pengawal kepresidenan menengok kepada saya dengan
wajah-wajah aneh. Saya kira waktu itu saya dilaporkan mau menyerang atau
apa. Saya menjumpai perwira ajudan dan mengatakan: ‘Saya perlu bertemu
dengan Pak Habibie. Saya hanya perlu 10 menit.’ Saya ingin mengajukan
sebuah pertanyaan. Ini sangat penting buat saya.”
Sebelum memasuki
kantor Habibie, kata Prabowo, ia melepaskan pistolnya; “Sebab ini adalah
prosedur. Bilamana datang menjumpai perwira senior, kita harus melepas
semua senjata. Saya tidak dilucuti!” Kemudian ia melangkah masuk ke
kantor presiden. “Ia mencium kedua belah pipi saya,” kata Prabowo. “Saya
katakan: Pak, apa Bapak tahu bahwa saya akan diganti hari ini? Ya ...
ya ... ya ..., katanya. Mertuamu minta saya menggantimu. Itu yang
terbaik. Kalau mau berhenti dari Angkatan Darat, saya akan mengangkatmu
sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat. Itulah yang dikatakannya,”
kata Prabowo, ia terpaku. “Ya Tuhanku, apa ini?” Ia mengenang pikirannya
waktu itu. “Dalam pikiran saya, Habibie pada waktu itu masih suka pada
saya, tetapi ia sedang dikelabui orang. Saya pergi ke Subagyo, ketika
saya masuk, saya berpapasan dengan beberapa jenderal pendukung saya.
Pesan mereka: Ayo, kita bikin konfrontasi. Kata saya: Tenang saja. Saya
berjumpa dengan Muchdi di sana. Kata kami: Kami rela minggir, tetapi
berilah sedikit waktu, supaya pertukaran komando ini kelihatan sebagai
sesuatu yang normal. Saya kira Subagyo pergi menjumpai Wiranto. Wiranto
berkata: Tidak, harus hari ini!”
Sang ‘Mastermind’
Sudahpun
dihalau oleh para iparnya, dicampakkan oleh sekutunya dan dipecat oleh
rivalnya, yang terburuk belum menimpa Prabowo. Dalam bulan-bulan
berikutnya, perwira-perwira yang dianggap dekat dengan dia, dipindahkan
atau dicopot dari tugas aktif. Pada tanggal 25 Juni, Wiranto melepaskan
Sjafrie dari jabatannya sebagai Pangdam Jaya, awal dari pergantian yang
mencakup luas. Berdasarkan penemuan DKP komandan Kopassus Muchdi dan
seorang kolonel dibebaskan dari tugas.
Tambahan pula desas-desus yang
tak kunjung bisa dihentikan bahwa Prabowo dan sekutu-sekutunya telah
memicu kerusahan-kerusuhan bulan Mei. Pada tanggal 23 Juli, Habibie
membentuk TGPF yang beranggotakan 18 orang untuk menemukan "otak
perencana" (mastermind) di belakang kerusuhan-kerusuhan di enam kota
besar, termasuk Jakarta. Setelah tiga bulan, TGPF menyimpulkan bahwa
penculikan-penculikan, krisis ekonomi, sidang MPR,
demonstrasi-demonstrasi dan penembakan di Trisakti semuanya bertalian
erat dengan kerusuhan-kerusuhan.
Yang pertama dari sembilan
rekomendasinya adalah agar pemerintah menyelidiki pertemua tanggal 14
Mei di Kostrad “untuk mengetahui peranan Letjen Prabowo dan pihak-pihak
lain dalam proses yang menuju kerusuhan.” Laporan itu tidak menyebut
Prabowo sebagai dalang kerusuhan dalam ringkasan yang diumumkan kepada
media. Tetapi laporan itu mengacu kepadanya, kepada pertemuan 14 Mei dan
penculikan-penculikan, sejumlah 11 kali. Itu lebih banyak daripada
kepada Sjafrie, yang mendapat 4 acuan, atau Wiranto yang pada waktu itu
masih menjabat sebagai Menhan dan Panglima ABRI. Nama Wiranto hanya
disebut satu kali dalam konteks turut menandatangani dekrit dan
melahirkan TGPF.
Prabowo mengecam insinuasi-insinuasi laporan itu.
“Apa motivasi yang mendorong kami untuk menghasut kerusuhan-kerusuhan?”
tanyanya. “Kepentingan kami adalah pemerintah selamat. Saya adalah
bagian dari rezim Soeharto. Andaikata Pak Harto terus memerintah tiga
tahun lagi, mungkin saya menjadi jenderal bintang empat. Mengapa saya
harus membakar ibukota? Itu bertentangan dengan kepentingan pribadi
saya, apalagi prinsip-prinsip saya.” Ia menyalahkan logika laporan itu.
“Bagaimana saya bisa mengada-kan pertemuan pada tanggal 14?” katanya.
“Kerusuhan-kerusuhan dimulai pada tanggal 13. Dan mereka yang menemui
saya itu adalah orang-orang yang disebut sebagai lawan-lawan Orde Baru.”
Ia
membantah kesan bahwa ia anti-Cina. Dikatakannya, bahwa seperti halnya
banyak orang Indonesia, ia berpendapat bahwa tidaklah sehat bila suatu
minoritas menguasai sebagian besar ekonomi. “Para usahawan Cina mengira
saya ingin menggusur mereka. Padahal model saya adalah New Economic
Policy‑nya Malaysia.” Bukankah itu berarti bahwa ia tidak akan
mengobarkan kerusuhan untuk memberi etnis Cina pela-jaran?” “Katakanlah
bahwa Anda tidak percaya bahwa saya punya rasa kemanusiaan,” katanya
membantah. “Kalau kami memusnahkan orang Cina, ekonomi kami pun akan
turut musnah. Sama saja dengan bunuh diri sendiri …. Kalau sayalah yang
mengobarkan kerusuhan-kerusuhan tersebut, mengapa saya tidak dituntut?
Beban pembuktian ada di pihak penuduh.”
Untuk mencari bukti itu,
koresponden Asiaweek di Jakarta (JM Tessoro) kembali ke hasil kerja
TGPF. Ia menelaah copy laporan lengkap yang terdiri dari enam jilid
(hanya jilid satu, ringkasan eksekutif yang diberikan kepada pers).
Empat dari kelima jilid selebihnya berisikan laporan korban dan
kerusakan, keterangan-keterangan saksi mata mengenai kerusuhan dan
perkosaan, serta usaha mendeteksi adanya pola-pola. Satu jilid berisi
transkrip wawancara yang diadakan perwira-perwira militer yang bertugas
ketika terjadi kerusuhan. Sebagai tambahan, saya bicara dengan sembilan
dari 18 anggota TGPF, demikian juga dengan pengamat Politik Hermawan
Sulistyo yang mengepalai tim terpisah yang terdiri dari 12 orang yang
melakukan banyak kerja mondar-mandir untuk mengum-pulkan data.
Apakah
kerusuhan-kerusuhan itu diorganisir? Banyak diantara yang melapor
kepada tim berpendapat demikian, akan tetapi dalam keenam jilid laporan
itu tidak ada bukti yang mendukung keterangan para saksi mata, apalagi
yang menunjuk kepada seseorang yang berada di belakang kerusuhan itu.
Sifat kerusuhan itu masih perlu dipertanyakan. Tinggallah sekarang
pertemuan tanggal 14 Mei. Namun ketika saya bicara dengan tiga dari
mereka yang hadir dalam pertemuan itu, termasuk anggota TGPF Bambang
Widjojanto, semua membantah adanya hubungan antara mereka dengan
kerusuhan, sebagaimana halnya juga dikatakan oleh sejumlah peserta
pertemuan dalam sebuah konferensi pers sehari setelah laporan TGPF
diumumkan. Gambaran yang mereka lukiskan cocok dengan keterangan
Prabowo.
Kalau begitu apakah Pangkostrad membiarkan
kerusuhan-kerusuhan merebak sehingga tidak dapat dikendalaikan? Ini
tentu sulit untuk dilakukan, karena ia sama sekali tidak punya wewenang.
Berdasarkan prosedur baku, polisi ibukota menangani keamanan. Komando
akan beralih kepada Pangdam Jaya bila polisi tidak mampu menjaga hukum
dan ketertiban, suatu fakta yang ditunjukkan oleh Kapolda Mayjen Polisi
Hamami Nata kepada TGPF pada tanggal 28 Agustus 1998 dan diperkuat oleh
Sjafrie. Mantan Pangdam Jaya itu memastikan waktu peralihan komando:
sekitar tengah hari tanggal 14. Kaum perusuh sudah mulai menyerang
pos-pos polisi, maka polisi ditarik mundur demi keselamatan mereka. Dari
tanggal 14 dan seterusnya, Sjafrie memegang kendali: menjelang tanggal
15, sebagian besar kerusuhan sudah dipadamkan. Sjafrie membantah keras
bahwa Prabowo punya kendali atas dirinya. “Prabowo tidak pernah
mempengaruhi saya,” kata Sjafrie. “Dia adalah sahabat saya, tetapi saya
punya prinsip-prinsip tugas saya.” Pada waktu itu, sesungguhnya, perwira
atasan Sjafrie adalah Wiranto.
Pengumuman laporan TGPF diundurkan ke
tanggal 3 November karena adanya pertikaian mendalam di kalangan tim.
“Situasinya sangat politis,” kata anggota TGPF Nursyahbani Katjasungkana
mengakui. “Pendapat-pendapat sudah lebih dulu terbentuk. Maka dalam
proses pengumpulan fakta, sulit membedakan dengan tajam antara fakta dan
pendapat.” Debat-debat jadi macet dalam perpecahan antara anggota sipil
dan militer, antara mereka yang ingin membatasi temuan-temuan pada
bukti-bukti yang dapat diterima berdasarkan hukum dan mereka yang ingin
melukiskan apa yang mereka sebut “fakta sosial”. Suatu hal yang menjadi
pertentangan yang eksplosif: jumlah korban perkosaan.
Sulistyo
mengatakan dari 109 kasus yang dilaporkan, timnya hanya mampu mengecek
kebenaran dari 14 kasus. Tetapi beberapa orang yang duduk dalam tim
gabungan itu -yang telah menjumpai sendiri perkosaan yang dilaporkan-
merasa bahwa angka itu harusnya lebih tinggi. Angka hitungan yang muncul
dalam laporan terakhir adalah 66 perkosaan yang sudah dicek
kebenarannya, plus 19 korban pelecehan seksual dan kekerasan.
Transkrip
kesaksian yang disampaikan oleh Prabowo dan Sjafrie ke TGPF mengenai
kegiatan-kegiatan mereka antara 12 dan 14 Mei tidak berisi informasi
yang berbeda dari apa yang mereka katakan kepada saya hampir 20 bulan
kemudian. Hampir semua anggota TGPF yang saya temui menyangkal adanya
usaha luar untuk mempengaruhi penyelidikan itu. Beberapa di antara
mereka mengatakan tidak dipengaruhi prasangka mereka sendiri atau rumor
yang menghubungkan Prabowo dengan kerusuhan-kerusuhan itu.
Kendati
demikian pada tanggal 12 Oktober 1998, TGPF memanggil Kasad Subagyo
semata-mata dalam kapasitas sebagai ketua DKP yang menyelidiki Prabowo.
Dalam transkrip, para anggota yang menanyai Subagyo pada waktu itu
mencari hubungan antara hilangnya empat pemuda dalam puncak kerusuhan
dan penculikan para aktivis yang terjadi sebelumnya. Tetapi Subagyo,
setidak-tidaknya dalam catatan, tidak dapat memberikan hubungan itu.
Dalam laporan terakhir, masih saja ditarik garis antara
penculikan-penculikan pra bulan Mei yang dilakukan Prabowo dan
kerusuhan.
Munir dari Kontras tidak melihat hubungan itu. “Di bulan
Mei, saya melihat gerakan di kalangan elite untuk mendorong situasi
politik ke arah perubahan,” katanya. “Ini beda dengan penculikan, yang
merupakan suatu konspirasi mempertahankan sistem yang ada.” Seorang
anggota TGPF, I Made Gelgel, sekarang mengakui adanya masalah penafsiran
ini. “Tidak masuk akal,” katanya, “bahwa di satu pihak Prabowo akan
membentengi kekuasaan mertuanya, dan di pihak lain menggerakkan
kerusuhan-kerusuhan.”
‘Kudeta’
Pada tanggal 30 Juni 1998,
dalam suatu pertemuan dengan pimpinan Dewan Dakwah Islam. Habibie
bercerita bagaimana Prabowo telah mengancamnya. Menurut anggota Dewan
Hartono Mardjono, Habibie mengatakan mendapat laporan dari asisten
militernya, Sintong Panjaitan bahwa kediaman Habibie telah dikepung oleh
pasukan-pasukan Kostrad dan Kopassus. Panjaitan, kata presiden telah
menyelamatkan keluarga presiden dengan menerbangkan mereka ke Istana.
Kata Hartono Mardjono, pada saat itu juga ia membantah cerita Habibie.
Katanya, tak mungkin Prabowo mengancam Habibie, sebab, pada hari
menjelang mundurnya Soeharto, Prabowo mendesak semua orang yang
dikenalnya supaya mendukung Habibie. Tetapi pendapatnya itu, kata
Mardjono, “dilewatkan begitu saja oleh Habibie.”
Habibie mengisahkan
cerita yang sama kepada Sunday Times London. “Rumah saya dikepung oleh
dua kelompok pasukan,” katanya dalam sebuah wawancara yang diterbit-kan
pada tanggal 8 November 1998. “Satu kelompok adalah pasukan biasa, yang
bertang-gung jawab kepada Wiranto, yang memerintahkan diadakannya
lingkaran penjagaan untuk melindungi saya, dan kelompok yang satu lagi
adalah pasukan Kostrad, yang bertanggung jawab kepada Prabowo. “Pada
tanggal 15 Februari 1999, Habibie mengatakan di depan suatu pertemuan
wartawan-wartawan Asia dan Jerman di Jakarta. “Pasukan-pasukan di bawah
komando seseorang yang namanya tidak akan saya sembunyikan, Jenderal
Prabowo, dipusatkan di berbagai tempat, termasuk tempat saya.” Pada
waktu itu, katanya Wiranto telah melaporkan situasi kepadanya dan telah
melindunginya.
Masalah utama dari semua versi cerita Habibie tersebut
ialah bahwa sebenarnya, pasukan-pasukan yang mengawal rumahnya adalah
atas perintah Wiranto, bukan Prabowo. Pada briefing komando tanggal 14
Mei, panglima ABRI itu, telah mengarahkan Kopassus mengawal rumah-rumah
presiden dan wakil presiden. Perintah-perintah ini diperkuat secara
tertulis pada tanggal 17 Mei kepada komandan-komandan senior, termasuk
Sjafrie, Pangdam Jaya pada waktu itu. Dalam kesaksiannya di depan DPR
pada tanggal 23 Februari 1999, Wiranto dengan terus terang mengatakan:
“Tidak ada percobaan kudeta.” Ketika minta tanggapan Habibie terhadap
pernyataan-pernyataan Prabowo, asistennya, Dewi Fortuna Anwar menjawab
untuk Habibie, “bahwa, Pak Habibie tidak perlu membuat bantahan langsung
terhadap tuntutan-tuntutan Prabowo.” Dewi Fortuna Anwar menganjurkan
agar saya bicara kepada beberapa orang, termasuk Panjaitan, yang
kesemuanya hadir di istana pada tanggal 22 Mei.
Prabowo yakin ia bisa
saja melancarkan kudeta pada hari-hari kerusuhan di bulan Mei itu.
Tetapi yang penting baginya ia tidak melakukannya. “Keputusan memecat
saya adalah sah,” katanya. “Saya tahu, banyak di antara prajurit saya
akan melakukan apa yang saya perintahkan. Tetapi saya tidak mau mereka
mati berjuang demi jabatan saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya
menempatkan kebaikan bagi negeri saya dan rakyat di atas posisi saya
sendiri. Saya adalah seorang prajurit yang setia. Setia kepada negara,
setia kepada republik.”
Penculikan-penculikan
ABRI selalu
menganggap bahwa Prabowo telah menyalah-tafsirkan perintah mengenai
penculikan para aktivis di bulan-bulan awal 1998. Di depan DKP, Prabowo
mengakui “kesalahannya”, tetapi sekarang ia juga bersikeras bahwa ia
mengikuti perintah-perintah yang juga diketahui rekan-rekannya.
Atasan-atasan Prabowo, mantan Pangab Feisal Tanjung dan penggantinya
Wiranto, terus-menerus menyangkal bahwa perintah itu berasal dari mereka
atau panglima tertinggi, Soeharto.
Berkata Prabowo, bahwa ia tidak
pernah diberitahu secara langsung keputusan DKP. “Saya mendengarnya
lewat radio,” katanya. “Orang-orang ini tidak punya nyali meng-hadapi
saya.” Ia masih tetap keberatan. “Saya ingin mengatakan begini,” kata
Prabowo tegas. “Semua yang saya lakukan, saya lakukan atas sepengetahuan
atasan-atasan saya, dengan persetujuan mereka dan berdasarkan perintah
mereka. Mungkin saja tidak semua perintah itu menurut garis rantai
komando, sebab atasan-atasan saya suka bekerja melompat melalui beberapa
tingkat. Tetapi saya mengatakan ini tanpa ragu-ragu.” Tujuan operasi
itu, katanya, adalah untuk menghentikan pengeboman. “Kami ingin mencegah
kampanye teror,” katanya. Sebagian besar yang ditahan, katanya, sudah
ada namanya dalam daftar orang-orang yang dicari polisi. Tetapi, katanya
“melihat ke belakang, saya memang berlaku kurang hati-hati.” Ia tidak
pernah mengunjungi sel-sel para aktivis yang diculik itu, dan percaya
saja pada laporan-laporan dari orang-orang yang ditugaskan untuk operasi
itu. Dikatakannya, ia tidak pernah memerintahkan penyiksaan.
Aktivis
Pius Lustrilanang mengatakan, bahwa ketika berada dalam kurungan, dua
orang tahanan lain mengatakan kepadanya bahwa mereka memang berencana
memasang bom. Anggota PRD, Feisol Reza, salah seorang yang diculik,
membantah keterlibatan partainya. “Isu bom itu dibuat-buat oleh
militer,” katanya. “Kami hanya korban.” Akan tetapi, Lustrilanang
mengemukakan bahwa tujuan penculikan bukan hanya pencegahan bom.
Menurutnya, ia dan yang lain-lain ditahan untuk mencegah
demonstrasi-demons-trasi yang dapat melumpuhkan sidang MPR bulan Maret
1998. Prabowo mengatakan, bahwa operasi itu adalah operasi tunggal.
“Saya punya kecurigaan,” katanya, “tetapi pada akhirnya itu tetap
tanggung jawab saya.” Menurut Kontras, setidak-tidaknya masih ada 12
orang aktivis yang hilang. Kata Lustrilanang, setidak-tidaknya tiga
orang yang ditahan bersamanya. Prabowo menunjukkan keterkejutannya atas
pengungkapan itu dan menga-takan ia tidak tahu mengenai nasib mereka
yang masih hilang. Ia tetap tidak mau membukakan identitas sumber
perintah yang diterimanya.
“Orang Luar Sejati”
Keterlibatan
Prabowo dalam penculikan dan dukungannya yang terang-terangan kepada
Habibie boleh jadi menghukumnya di mata publik dan Soeharto. Tetapi
loyalitas-nya, baik kepada presiden maupun wakil presiden merupakan
bukti terkuat untuk menentang tuduhan bahwa ia melancarkan kerusuhan
atau kudeta, yang akan membaha-yakan kedua orang itu. Pertanyaannya
barangkali bukanlah mengapa Prabowo berbalik menentang mertuanya dan
sahabatnya, melainkan mengapa kedua mereka berbalik menentang dia.
Sebagian
sebabnya adalah Prabowo. “Ia mengira dirinya orang dalam, padahal ia
adalah seorang outsider sejati,” kata Daniel Lev, ahli sejarah asal
Amerika. Pendidikannya di luar negeri memberinya pandangan Barat, yang
menyebabkan masalah baginya dalam politik angkatan darat dan keluarga
Soeharto. Bahkan kredensial Islamnya dianggap kurang oleh para radikal
yang digabunginya. Untuk memuaskan pihak konservatif, ia menginginkan
terlalu banyak perubahan, padahal ia sendiri adalah bagian kental dari
rezim lama untuk bisa diterima sebagai seorang reformis. Andaikata ia
benar-benar merebut kekuasaan, ia mengakui, sebagai menantu Soeharto, ia
akan terlibat sebagai pendukung kepentingan-kepentingan suatu rezim.
Pendeknya, ia dianggap sangat di luar tempatnya, dan pada akhirnya,
tidak sesuai masa.
Faktor lainnya tidak bisa tidak adalah reputasinya
-yang sebenarnya, yang dibayang-kan, atau yang diciptakan orang.
Reputasi itu boleh jadi telah membuat beberapa anggota TGPF percaya pada
teori tertentu tentang kerusuhan-kerusuhan itu. Reputasi itu bisa jadi
telah mengekalkan suatu salah pengertian yang mungkin terjadi seputar
keamanan sekeliling Habibie. Reputasi itu membuat ia masih dihubungkan
dengan kekerasan yang terjadi di Indonesia, seperti kerusuhan yang masih
terjadi di Maluku.
Ini semua adalah penjelasan-penjelasan yang
gampang. Penjelasan-penjelasan lain lebih sulit lagi. Setelah bulan Mei,
Wiranto diberi label “pro-reformasi”, “profesional”, seorang yang akan
“melindungi negerinya sementara melangkah menuju demokrasi.” Pada suatu
waktu ia lebih populer daripada Habibie, dan masih ada harapan untuk
dipilih menjadi presiden, meskipun masih mempertunjukkan loyalitasnya
kepada Soeharto. Bagaimana ia bisa menyatukan kedua pertentangan itu?
Pertanyaan-pertanyaan lain: Mengapa Wiranto bersikeras membawa
perwira-perwira senior ke Jawa Timur pada tanggal 14 Mei? Siapa yang
bertanggung jawab atas "pernyataan" mengenai Soeharto? Mengapa ia
mengizinkan mahasiswa memasuki gedung MPR/DPR dan membiarkan mereka
tinggal di sana sampai Soehato mengundurkan diri?
Prabowo mengakui
bahwa versinya tiada lain -adalah versinya sendiri. Peristiwa-peristiwa
yang sama mungkin dilihat beda oleh orang lain: Soeharto, Habibie,
anak-anak Soeharto, Wiranto. “Saya harus fair,” kata Prabowo mengenai
Wiranto. “Ia ingin mengadakan reformasi tetapi ia juga punya
ambisi-ambisi politik.” Di matanya sendiri, Prabowo adalah seorang
loyal. Bagi orang lain, tindakan-tindakannya bisa saja kelihatan sebagai
tindakan-tindakan seorang rival yang berbahaya, seorang pengkhianat,
seorang konspirator. Saling curiga, kebingungan dan salah pengertian
pasti punya peran dalam drama bulan Mei. Masing-masing pemain kunci
boleh jadi berpikir bahwa pihak-pihak lain bermaksud mencelakakan
dirinya. Jika politik di Indonesia adalah permainan wayang, maka mungkin
pemain-pemain itu takut pada bayangannya satu sama lain.
Orang masih
bisa mencari alur dan kontra-alur cerita. Tetapi melihat bahwa yang
berperan di sini lebih daripada suatu konspirasi, itu sama dengan
melepaskan kebenaran yang rumit dari sangkar fiksi yang cocok. Apa pun
kenyataan di belakang kerusuhan-kerusuhan itu, cerita-cerita yang muncul
terbukti sangat berguna.
“Setelah TGPF,” kata Munir dari Kontras,
menjelaskan siapa yang muncul adalah bahwa Wiranto adalah seorang yang
tak bisa dinyatakan bertanggung jawab. Inilah kemenangan politik
Wiranto: memperoleh tiket memasuki suatu rezim baru padahal sebenarnya
ia adalah bagian dari rezim lama yang digulingkan. Apakah konsolidasi
militer dan keberhasilan politik Wiranto mungkin terjadi tanpa akhir
karier Prabowo?
Bayang-bayang Prabowo telah digambarkan seperti
sehelai selimut yang meliputi kerusuhan-kerusuhan, penculikan, perlakuan
kejam di berbagai daerah. Orang tidak perlu repot-repot lagi mencari
penjelasan-penjelasan. “Seharusnya jangan dia seorang, yang disalahkan
atas semuanya,” kata Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada Asiaweek.
“Itu
jalan keluar yang gampang.” Tetapi itulah rute yang telah diambil.
Dengan adanya kambing hitam, tidak ada orang yang perlu menjelaskan
mengapa seseorang dianiaya, terhambatnya karier orang-orang lain. Tidak
ada orang yang perlu mengungkap-kan nasib dari orang-orang yang masih
hilang. Tidak ada orang yang perlu mengaku bertanggung jawab. Selama
cukup banyak orang yang percaya bahwa kesusahan semua orang lain akan
sirna jika orang lain -seseorang, suatu komunitas- dapat disalahkan dan
kemudian di lenyapkan.
Citra Kejahatan
Reputasi kekejaman Prabowo di Timtim yang dibelokkan
Reputasi
Prabowo begitu rupa, sehingga setelah pemungutan suara di Timor Timur
untuk kemerdekaan di bulan Agustus tahun lalu, tersebar laporan-laporan
yang mengata-kan ia terlibat dalam perusakan yang terjadi kemudian
-setahun lebih setelah ia dipecat. Baru-baru ini sebuah surat kabar
Inggris bahkan berspekulasi bahwa pasukan-pasukan penjaga perdamaian
Jordania yang disebarkan di wilayah itu bisa digunakan oleh mantan
jenderal tersebut untuk menimbulkan kerusuhan (Prabowo sekarang tinggal
di Jordania dan ia adalah sahabat Raja Abdullah).
Tanggapan Prabowo
terhadap tuduhan-tuduhan seperti itu: “Saya kira itu banyak yang
disimpangkan.” Ia tidak membantah bahwa ia mendukung integrasi Timtim
dengan Indonesia dan mendukung orang-orang Timtim yang berjuang untuk
itu. “Saya kira waktu itu kita punya tujuan yang baik yang perlu
didukung,” katanya. “Orang Portugis berada di sana selama 500 tahun,
mereka meninggalkan kekacauan. Bagi kami, Fretelin adalah
Marxist-Leninist, musuh ideologi. Kami harus membantu orang-orang Timtim
yang pro- Indonesia dan banyak di antara mereka yang menentang
pro-Indonesia.” Penduduk setempat yang pro-Jakarta membantu
kesatuan-kesatuan Prabowo. Mereka tidak dibayar banyak, katanya tetapi
ia melihat mereka sebagai pejuang-pejuang integrasi yang paling
mengabdi. (Orang-orang Timor Timur yang pro-kemerdekaan tentu saja
melihat mereka sebaliknya).
Tetapi keyakinan Prabowo terhadap
integrasi tidaklah berarti bahwa ia akan melakukan apa saja untuk
mencapainya. “Saya selalu menentang penganiayaan terhadap tawanan,”
katanya. “Saya selalu menentang penyiksaan. Saya punya filasafat:
tentara rakyat. Kami harus menjaga supaya rakyat berada di pihak kami.
Bagaimana itu bisa terwujud kalau mereka dianiaya?”
Prabowo bertugas
empat kali di Timtim. Ia tiba di sana untuk pergiliran dinas (tour of
duty) yang pertama Maret 1976, kira-kira tiga bulan setelah wilayah itu
ditinggalkan Portugal dan diserbu Indonesia. “Kami adalah semacam satuan
gempur,” katanya mengenang. “Kami keluar kota Dili selama dua-tiga
minggu untuk tugas patroli jarak jauh. Pada suatu kali kami dikepung
ratusan gerilya, pada waktu itu kami belum punya helikopter banyak dan
cuaca tidak begitu baik. Saya ingat waktu itu saya berharap: “Hei, kalau
saya tertembak, mudah-mudahan di pagi hari. Sebab kalau tertembak
setelah pukul dua siang, tidak ada helikopter yang bisa datang
menolong.”
Di tahun 1978, ia kembali sebagai komandan Kompi 112,
dengan nama sandi Nanggala 28. Prestasi pentingnya adalah penembakan
Presiden Fretelin, Nicolau Labato, untuk mana Prabowo mendapat kenaikan
pangkat. Lima tahun kemudian ia memimpin sebuah task force (satuan
tugas) anti gerilya. Akhirnya Prabowo ditempatkan di Timtim dari tahun
1988 hingga 1989, sebagai komandan batalyon 328 lintas udara Kostrad.
Kecurigaan-kecurigaan
bahwa pasukan-pasukan Indonesia melakukan kekejaman di Timor Timur
sudah tersebar, dan sebuah laporan yang belum lama ini dikeluarkan
Komnas HAM melibatkan beberapa perwira tinggi, termasuk mantan panglima
ABRI, Jenderal Wiranto, dalam kekerasan yang meletus setelah referendum
tahun lalu. Selama dua dekade menyusul invasi 1975, pihak militer
menerapkan sikap keras terhadap wilayah itu. Korupsi, disiplin buruk,
perlakuan kejam, tampaknya sudah merebak di kalangan perwira dan pasukan
yang ditempatkan di Timor Timur.
Pertanyaannya ialah: Berapa jauh
Prabowo berpartisipasi dalam semua ini? Untuk memperoleh rincian tentang
apa yang dikatakan sebagai perlakuan kejamnya, Asiaweek menghubungi
empat LSM terpisah yang memantau kekejaman militer. Mereka adalah: Tapol
di London; Solidamor di Jakarta; Yayasan HAK, berdomisili di Dili, dan
ETAN di New York. Kepada mereka dimintakan laporan saksi mata, transkrip
komunikasi yang tertanggap, dokumen-dokumen yang dibocorkan atau apa
saja yang memperkuat cerita-cerita tentang perlakuan tersebut.
Tidak
satu pun yang dapat memberikannya. Sumber Tapol mengakui, “Saya kira
kami sebenarnya tidak punya senapan berasap (bukti nyata seseorang
bersalah).” Ia dan Tri Agus Siswowiharjo dari Solidamor mengatakan,
kantor mereka tidak punya data pasti yang menghubungkan Prabowo dengan
perlakuan-perlakukan kejam itu. Liem, sumber itu, memberi alasan karena
Prabowo “tidak pernah menjadi bagian dari struktur resmi.”
Levidus
Malau dari HAK mengatakan, kelompoknya memang punya beberapa data,
tetapi sudah hilang dalam peristiwa penghancuran Dili tahun lalu, ETAN
mengarahkan kami untuk menelepon seorang warga Timor Timur, yang
pendidikan sekolahnya dibiayai Prabowo. Orang tersebut mengatakan ia
tidak bisa membenarkan maupun membantah cerita-cerita itu. Direktur
media itu dan outreach ETAN, John Miller, menegaskan: “Reputasi Prabowo
adalah berdasarkan kenyataan.”
Apa kenyataan itu? Saya meneliti suatu
insiden yang menurut laporan, Prabowo terlibat di dalamnya: pembunuhan
besar-besaran terhadap penduduk desa di Cracas, di Kabupaten Viqueque,
tenggara kota Dili. Menurut seorang perwira Kopassus yang nieminta
namanya tidak disebut, Cracas diratakan dengan tanah tanggal 3 Agustus
1983, sebagai balasan atas terbunuhnya insinyur-insinyur Indonesia oleh
Fretelin di desa tersebut. Kesatuan Prabowo, yang salah seorang
anggotanya adalah perwira yang tak mau disebutkan namanya tadi, baru
tiba di Timor Timur tiga hari setelah peristiwa itu. Kesatuan Prabowo
dikirim ke Cracas, mereka menjumpai 30 orang yang selamat yang sebagian
besarnya adalah wanita dan anak-anak. Dikatakannya, Prabowo memberi
mereka spanduk merah putih dan sepucuk surat untuk disampaikan kepada
komandan wilayah. Kesatuan itu kemudian mengawal kelompok penduduk
tersebut sejauh tepi sungai penyeberangan. Perwira itu mengatakan, ia
tidak tahu apa yang terjadi terhadap mereka setelah itu, tetapi
informasi yang diperoleh dari tempat lain mengesankan mereka dibunuh
oleh kesatuan Indonesia lain.
Banyak hal yang dipercaya menyangkut
Prabowo sesungguhnya tidak cocok dengan fakta. Ia telah
disangkut-sangkut dengan peristiwa pembunuhan besar-besaran di
pema-kaman Santa Cruz tahun 1991, tetapi ia bahkan tidak berada di
Timtim pada saat itu, lagi pula waktu itu ia bertugas di Kostrad, bukan
di Koppassus (kelompok pasukan khusus yang menangani soal intelijen dan
kontra pemberontakan). September lalu desas-desus tersebar luas yang
mengatakan bahwa Prabowo berada di Timor Barat sebagai penasihat milisi
pro-Indonesia padahal ia ada di Malaysia sedang diwawancarai Asiaweek.
Kurangnya
bukti yang menguatkan kejahatan yang katanya dilakukan Prabowo tentu
saja berarti bahwa ia tidak melakukan perlakuan kejam di Timtim. Tidak
adanya laporan dari hari ke hari yang dapat dibuktikan secara independen
mengenai masing-masing pergiliran tugas (tour of duty) Prabowo,
keraguan terhadap catatan mengenai dirinya yang akan tetap ada -dan
demikian juga halnya mengenai perwira mana pun yang bertugas di sana.
Begitulah hebatnya keburukan namanya- dan citra militer Indonesia di
Timtim.
Pada waktu itu ada perang di Timtim; semua orang meninggal
berlumuran darah. Tetapi Prabowo, tampaknya telah memasuki konflik yang
terjadi di sana -seperti ia mela-kukan banyak hal- sebagai orang
idealis. Ia mempunyai konsep-konsep tinggi mengenai perilaku perang dan
integrasi yang membuatnya lain dari rekan-rekannya. Ia memerintah-kan
pasukannya agar tidak menembak penduduk sipil yang tidak bersenjata
sekalipun mereka berkelompok dengan Fretelin bersenjata (suatu
kebijaksanaan yang dibenarkan bekas bawahannya). Ia mengatakan gara-gara
pendekatannya seperti ini, ia dianggap oleh komandan-komandan lainnya
sebagai pengecut. “Banyak perwira Indonesia kurang profe-sional,”
katanya. “Mereka juga memiliki sikap kolonialis yang imperialistis.
Mereka memperlakukan Timtim sebagai suatu daerah kekuasaan. Saya waktu
itu mendesakkan: Tidak, kita harus memenangi hati dan pikiran rakyat.
Kalau rakyat tidak bersama kita, kita menghadapi masalah.”
Di
tahun-tahun permulaan 1990, Prabowo membujuk Jakarta agar memberikan
otonomi untuk wilayah itu -sebuah fakta yang diperkuat duta besar
keliling Indonesia, Francisco Lopez da Cruz dan mantan Menlu Ali Alatas,
yang keduanya lama terlibat dalam kebijaksanaan mengenai Timtim. Hal
itu membuat Prabowo salah seorang dari penganjur otonomi paling awal.
“Dalam situasi pemberontakan, harus selalu ada solusi politik,” kata
Prabowo. “Dan menurut pikiran saya, daerah otonomi khusus adalah ideal.
Tetapi siapa yang mau mendengarkan seorang letnan dua, seorang letnan
satu atau seorang kapten?”
Statusnya sebagai menantu Soeharto tidak
ada pengaruhnya, sebab orang kuat itu kukuh mengenai soal itu. “Buat
dia, integrasi sudah final,” kata Prabowo yang merasa bahwa pilihan
Timtim untuk memisahkan diri dari Indonesia untuk sebagian membukti-kan
kebenarannya. “Saya selalu menentang pengekalan peperangan di sana. Pada
akhir-nya pendirian saya terbukti benar. Beberapa dari mereka yang
berada di tingkat atas punya ide gila yang berfikir alangkah baiknya
kalau kita bisa mengekalkan perang itu.”
Betapapun jeleknya, Prabowo
loyal kepada suatu institusi yang menangani Timtim dengan buruk.
Paling-paling ia menempatkan dirinya sejauh mungkin di atas keganasan
penyalahtanganan itu dan bahkan mencoba menguranginya. Kalau begitu
mengapa ia dianggap sebagai personifikasi kekejaman militer Indonesia?
Jawabannya barangkali adalah karena dengan memusatkan perhatian
kepadanya, jadi mengaburkan jati diri dari banyak orang yang bertanggung
jawab atas pemberian perintah dan pelaku kekejaman. Begitu pula
barangkali desas-desus bahwa ia berada di Timor Barat setelah pemungutan
suara Agustus lalu, telah membantu mengalihkan pengamatan mengenai
sifat pertalian para milisi dengan Jakarta.
Memang adalah suatu ironi
bila Prabowo merupakan suatu titik tumpuan yang aneh antara mereka yang
tidak menghiraukan hak asasi manusia dan mereka yang mencoba
menegakkannya. Para perwira dan birokrat yang memerintahkan, melakukan
atau mem-bantu kekejaman di Timor Timur boleh jadi menghendaki agar
konsekuensi tindakan mereka jatuh di kepala orang lain. Bagi aktivis hak
azasi dan bagi orang Timor Timur pro- kemerdekaan, cerita-cerita
mengenai Prabowo yang sudah tersebar luas, memberikan gambaran yang baik
dari dosa-dosa Indonesia di Timtim sehingga cerita-cerita itu lebih
banyak dilihat dari segi kegunaannya daripada buktinya.
Anggota
Komnas HAM Saparinah Sadli turut duduk dalam TGPF yang mengusut
kerusuhan-kerusuhan Mei 1998 yang melibatkan Prabowo. Ia mengakui:
“Boleh jadi kami sudah dipengaruhi secara tidak sadar. Itu mungkin
terjadi.” Ia juga menyatakan bahwa tekanan-tekanan yang sama mungkin
juga telah diterapkan pada penyelidikan mengenai amukan yang terjadi di
Timor Timur tahun lalu. “Terus terang,” katanya, “Sekarang kami
cenderung berpikir bahwa entah bagaimana, Wiranto berada di belakangnya.
Apakah memang mantan panglima ABRI itu adalah penjahat yang berada di
belakang tragedi Timor Timur? Itu pun mungkin harus menunggu bukti.
Naik dan Jatuhnya Seorang Idealis
Hampir
30 tahun yang lampau, ketika masih seorang taruna. Prabowo menulis
kepada seorang sahabat akrabnya tentang perjuangan meraih kekuasaan.
“Sebab dengan memperoleh kekuasaan,” tulisnya menjelaskan, “kita dapat
berbuat baik.” Bahwa Prabowo itu ambisius, itu bukan rahasia lagi.
Sebagian besar orang Indonesia percaya bahwa nafsu meraih kekuasaan
inilah yang mendorongnya masuk militer, menikah dengan putri presi-den
dan kemudian di bulan Mei 1998 merakit suatu komplotan untuk melawan
musuh-musuhnya.
Akan tetapi, mengapa Prabowo menginginkan kekuasaan?
Boleh jadi jawabannya adalah ungkapan kisahnya yang paling mengherankan.
Mungkin ia adalah seorang pengatur siasat yang tidak sehebat seseorang
yang menjawab pertanyaan yang diajukan semua idealis muda kepada diri
sendiri: Apakah kita bekerja di dalam atau di luar sistem yang kita
ingin ubah? Prabowo menentukan pilihannya dan berpegang pada keputusan
itu. Hidupnya sejak itu adalah konsekuensi dari keputusan tersebut.
Kenangan
diri Prabowo adalah ketika kakeknya membawanya ziarah ke makam dua
orang pamannya yang gugur dalam perjuangan melawan kolonial. Ia diberi
nama pamannya yang lebih tua: Subianto. “Kakek menanamkan ke dalam diri
saya nilai-nilai ksatria prajurit dan patriotisme,” katanya.
Prabowo
melihat nilai-nilai ini diuji ketika ayahnya seorang ekonom terhormat
terpaksa keluar dari Indonesia gara-gara ulah pemerintah presiden
Indonesia pertama, Soekarno. Sumitro Djojohadikusumo melarikan diri dari
Indonesia pada tahun 1958, yang menjadi masa pengasingannya selama 10
tahun. Keluarga itu terus menerus berpindah-pindah yang akhirnya
berakhir di Eropa. Di sanalah nasionalisme Prabowo tumbuh, sebagaimana
halnya juga kekagumannya pada ide-ide Barat.
Pada tahun 1965,
Indonesia melihat naiknya seorang jenderal muda bernama Soeharto
menyusul kudeta komunis yang gagal, Prabowo pada waktu itu sudah
diterima di sebuah perguruan tinggi Amerika, ketika ia memohon kepada
ayahnya agar dibolehkan kembali ke Indonesia. “Banyak peristiwa sedang
terjadi.”
Prabowo pulang ke tanah airnya tahun 1968 dan langsung
menceburkan diri ke dalam situasi yang sedang bergejolak. Ketika
Soeharto menggantikan Soekarno, mulailah terjadi perdebatan di kalangan
mahasiswa: Apakah mereka bekerja sama dengan rezim militer yang sedang
muncul ataukah tetap di luar sambil berusaha mengawasinya? Banyak di
antara tokoh-tokoh politik dan bisnis yang menjadi makmur selama
pemerintahan Soeharto, memilih kerja sama. Sebagian besar teman-teman
memilih tinggal di luar.
Tetapi keterpesonaan Prabowo pada militer
yang ditanamkan oleh kakeknya sangat mendalam dalam dirinya. “Saya
katakan kepada teman-teman saya sedang memikirkan masuk jadi militer,”
kata Prabowo mengenang. “Mereka menengok kepada saya: Anda serius? Saya
jelaskan: Militer itu sangat penting. Seharusnya beberapa di antara kita
harus berada di dalam militer. Saudara-saudara jadilah teknokrat. Pada
suatu hari kita akan berjumpa dan ambil bagian dalam memodernkan negeri
kita.” Beberapa teman bersikap mendukung, lainnya tidak. “Salah seorang
di antara mereka berkata: Prabowo nanti Anda akan diindoktrinasi. Anda
akan menjadi seorang fasis. Kata saya: Tidak, kita harus melakukan
modernisasi dari dalam. Kita harus melaksanakan reformasi dari dalam.”
Pada
tahun 1970, Prabowo mendaftarkan diri ke Akademi Militer. Kehidupan di
sana jauh beda dari kenyamanan yang telah dikenalnya. Ia merasa bawa
para seniornya berlaku lebih keras kepadanya dan anak-anak elite lainya.
Ketika pangkatnya diturunkan karena pelanggaran disiplin, ibunya
mengatakan kepadanya ia boleh meninggalkan akademi itu kalau mau, ia
menolak. Kata saya: “Tidak, saya senang pada Angkatan Darat. Apa pun
yang terjadi, saya akan tetap di Angkatan Darat.”
Keputusan itu
ternyata mempunyai konsekuensi penting. Angkatan Darat memper-temukannya
dengan keluarga presiden. Komandannya dalam pasukan khusus pada
awal-awal 1980, adalah ipar Soeharto. Minat keluarga presiden tergugah
oleh perwira muda yang berasal dari keluarga terhormat itu dan ia
dijodohkan dengan putri kedua Soeharto. Siti Hediati Harijadi (Titiek).
Pasangan itu menikah tanggal 8 Mei 1983.
Prabowo tak dapat mengatakan
dengan tepat kapan bisik-bisik mulai terdengar setelah itu, tetapi ia
tahu isinya. Bahwa ia kesayangan Soeharto. Bahwa perjalanan kariernya
telah dibuat lancar melalui promosi. Bahwa ia mendapat perintah-perintah
langsung dari presiden dengan melampaui lapisan-lapisan perwira yang
lebih senior. Bahwa ia menikmati kepentingan-kepentingan bisnis keluarga
Soeharto maupun bisnis keluarganya sendiri. Prabowo berpendapat bahwa
ketidaksenangan itu bukan semata-mata karena hubungannya. Melainkan
karena, menantu atau bukan, ia sedang menjalan-kan suatu visi
kemiliteran yang berlawanan dengan apa yang diharapkan oleh
pimpinan-nya. “Saya menghendaki kualitas tinggi. Saya menghendaki
profesionalisme. Saya meng-hendaki disiplin,” katanya. “Tetapi banyak di
antara jenderal yang masa bodoh. Mereka mengatakan saya datang dari
keluarga kaya. Tetapi mereka lebih feodal.”
Sebagai pemimpin latihan
Kopassus, Prabowo merasionalisasi latihan-latihan, mem-bersihkan
manajemennya dan bahkan perwira-perwiranya dilarang bermain golf,
per-mainan yang digemari para jenderal. Pada tahun 1995 ia menjadi wakil
komandan Kopassus, ia dinaikkan menjadi komandan tahun berikutnya.
Kopassus dengan cepat mencapai reputasi sebagai salah satu cabang
militer yang terlatih paling baik -dan punya dana terbaik. Prabowo
mengakui bahwa ia memperoleh uang dari kontak-kontak bisnis di luar
militer. “Bukan saya saja yang melakukan begitu,” katanya membantah.
“Banyak perwira melakukannya. Saya terpaksa melakukan begitu. Budget
kami tidak pernah cukup.”
Prabowo juga menyarankan -dengan hati-hati-
agar keluarga presiden merangkul perubahan. Selama bertahun-tahun, ia
mencoba memperingatkan ketidaksenangan publik yang semakin besar
terhadap pemerintahan Soeharto yang otoriter dan korupsi, terutama di
kalangan ipar-iparnya. Istrinya pun ikut-ikutan mengembangkan
kepentingan-kepen-tingan usahanya. Kata Prabowo, ia berusaha mencegah
istrinya tetapi percuma. “Lambat laun saya menjadi dongkol,” katanya.
“Ia (Soeharto) terlalu percaya diri. Pada pendapat-nya tidak diperlukan
perbaikan pada sistem pemerintahan.” Jadi disamping
perselisihan-perselisihannya dengan jenderal-jenderal Soeharto, Prabowo
juga meningkatkan ketegangannya dengan anak-anak Soeharto. Katanya:
“Pada akhirnya saya sadar bahwa semua senyuman mereka hanyalah kedok
semata. Mereka mengatakan sesuatu kepada saya dan melakukan yang lain di
belakang saya.”
Namun Prabowo tetap loyal pada Soeharto. “Saya sudah
telanjur sebagai seorang samurai,” katanya. “Seorang samurai tidak
meninggalkan yang dipertuannya.” Kesetiaan Prabowo boleh jadi menjadi
kunci mengapa Soeharto mentolerir dia. Selama Prabowo tetap loyal, semua
tingkahnya, obsesinya, ide-idenya untuk mengadakan reformasi,
kecaman-kecamannya, kedekatannya dengan lawan-lawan Orde Baru -akan
dapat dijadikan aset. “Ada satu hal mengenai Pak Harto,” kata
purnawirawan jenderal Hasnan Habib, “ia mengenali orang melalui
intuisinya.”
Pergesekan-pergesekannya yang terus menerus dengan
atasannya barangkali mem-percepat kejatuhannya. Mantan jurubicara TNI
Mayjen Sudrajat teringat ketika ia bermalam-malam hingga larut
berdiskusi tentang reformasi militer dengan Prabowo. “Ide-idenya sangat
cemerlang,” kenang Sudrajat. “Tetapi ia terlalu kurang sabar. Ia tak mau
menunggu hingga sistem itu sendirilah yang mengadakan reformasi. Ia
mengadakan jalan-jalan pintas yang menyinggung perasaan
atasan-atasannya.” Prabowo mengakui kesalahannya: “Waktu itu saya
berpikir, hasil-hasil reformasi itu pada akhirnya akan meluas. Saya
tidak banyak memikirkan bagaimana harusnya menyenangkan hati orang. Saya
pikir, reputasi saya, performa saya sudah cukup.”
Prabowo dengan
naifnya mengira bahwa memenangi permainan politik hanyalah soal
keunggulan dirinya sendiri. Ketulus-ikhlasan yang keras kepala ini
menopangnya dalam kenaikannya dan perjuangan-perjuangannya dalam
lingkungan sistemnya Soeharto dan memberinya kharisma. Tetapi itu
jugalah yang membuatnya mudah dimanipulasi dan berkhayal. Pada akhirnya,
ia yakin bahwa Orde Baru yang otoriter itu perlu dipertahan-kan.
Barangkali pada waktu itu ia tidak punya pilihan lain lagi. Sebagai
jenderal dan menantunya Soeharto, ia menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari Orde Baru itu. Sang idealis yang berencana mencapai puncak telah
terperosok terlalu dalam.
“Saya tetap berharap agar Soeharto boleh
jadi pada akhirnya akan mengadakan reformasi atau menyerahkan kendali
kepada seseorang yang mau melakukannya,” katanya. Itulah senantiasa
harapan saya: reformasi dari dalam, reformasi dari atas. Tetapi ketika
sistemnya menjadi begitu tersumbat, itu tidak dapat dilakukan. Mungkin
itulah salah satu dari antara kegagalan-kegagalan saya –yang pada waktu
itu tidak dapat saya lihat.” (Asiaweek)
Penutup
Demikianlah,
sudah kita baca keseluruhan isi Buku Putih Prabowo. Gagasan yang
melontarkan ditulisnya Buku Putih adalah datang dari ayahandanya sendiri
Prof. Sumitro Djojohadikusumo. Prabowo nampaknya tidak mau terus jadi
kambing hitam dan “bumper” orang-orang yang ingin cuci tangan atas
peristiwa itu.
Untuk meluruskan informasi tentang dirinya dan juga untuk kebenaran sejarahlah maka Prabowo menulis Buku Putih.
Sahabat
dekatnya Fadli Zon, Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies
(IPS) pernah mengatakan; “Saya yakin Prabowo tidak terlibat kerusuhan
itu. Dia hanya dijadi-kan “keranjang sampah” bagi kesalahan TNI baik
secara institusi maupun oknumnya. Kerusuhan itu mutlak tanggung jawab
Wiranto sebagai panglima,” kata Fadli Zon.
Fadli juga mengusulkan
lebih baik bukan hanya Prabowo yang mengeluarkan Buku Putih tapi banyak
orang sehingga kita bisa menguji data itu untuk meluruskan sejarah yang
mengawali tumbangnya rezim Orde Baru.
Dan, memang, marilah kita nantikan!
Fadli Zon, Penjaga Gawang Prabowo
Kerusuhan
12‑14 Mei 1998, menurut Fadli Zon yang Direktur Eksekutif IPS
(Institute for Policy Studies), Prabowo tidak bersalah. Alasannya,
Pangkostrad itu tidak memiliki wewenang komando. Sebagai Pangkostrad,
kalau diperlukan dia harus menyerahkan pasukan cadangan pada Kodam Jaya,
atau menyerahkan kepada Kepolisian. Jadi yang punya garis komando
Pangdam dan Polda. Yang teratas tentunya Panglima ABRI. Sementara Kasad,
Kopassus, Komandan Marinir, Kostrad tidak bisa memberi komando secara
langsung.
Dalam sebuah keterangan pers-nya Fadli Zon mengatakan,
Kostrad bila diperlukan bantuannya harus melalui Kodam. Sedangkan waktu
kejadian itu, menurutnya yang mengendalikan adalah kepolisian. Menurut
Fadli, ada hal yang menarik di sini. Kenapa justeru pada saat itu
kepolisian menarik seratus kompi pasukannya. Padahal keberadaan mereka
saat itu sangat diperlukan mengamankan instalasi vital dan lain
sebagainya. “Nah, hal seperti inilah yang menurut saya perlu dijernihkan
oleh Kapolda Hamami Nata. Termasuk kenapa pada tanggal 14 Mei Wiranto
justeru ngotot membawa para jenderal ke Malang.
Dalam penuturannya,
Fadli mengatakan semua orang tahu pada tanggal 12 Mei ada penembakan
mahasiswa di Kampus Trisakti. Tanggal 12 malam orang-orang sudah mulai
marah. Kemudian tanggal 13 ada upacara pemakaman yang disusul kerusuhan
dan bakar-bakaran di sekitar Kampus Trisakti Grogol.
Dari rangkaian
peristiwa itu semua orang bisa memperkirakan tanggal 14 Mei akan terjadi
puncak kerusuhan. Padahal di Malang hanya mengikuti upacara seremonial
peresmian Pasukan Pemukul Reaksi Cepat pemindahan dari Divisi I Kostrad
di Jakarta ke Divisi II Kostrad di Malang.
Masih menurut Fadli,
Prabowo sempat delapan kali menelpon Wiranto agar acara itu ditunda
saja. Apalagi itu acara di bawah Kostrad. Tapi Wiranto mengatakan harus
jalan terus. Yang pergi ke Malang selain Panglima TNI ialah Kasad,
Pangkostrad, Danjen Kopassus, dsb.
“Jadi saat itu, Jakarta sempat
kosong. Semua itu sampai sekarang tidak ada kejelasannya. TGPF (Tim
Gabungan Pencari Fakta) pun tak pernah mempersoalkan hal itu, sehingga
terkesan TGPF cenderung memojokkan dan mencari-cari kesalahan Prabowo.
Apalagi dengan kesimpulan 14 Mei yang sebenarnya pertemuan itu tidak ada
apa-apanya,” ujar Fadli Zon.
Menyinggung Buku Putih Prabowo, menurut
Fadli Zon agar semuanya bisa menjadi lebih jelas. Selama ini semua
orang sudah terlanjur menyalahkan Prabowo. Dia telah diperlakukan
seperti keranjang sampah bagi kesalahan-kesalahan TNI, baik
institusional ataupun oknum-oknumnya, karena dia memang target yang
mudah dijadikan kambing hitam. Itulah sebabnya perlu diluruskan. Sebab
kalau kita tidak berani, saya kira bangsa ini tidak akan pernah maju.
Lebih
jauh Fadli Zon, dalam membela nama baik rekannya itu, Prabowo
menurutnya clear seratus persen. Ia menyebutkan tuduhan terhadap Prabowo
selama ini sebagai pembunuhan karakter. Semua kesalahan-kesalahan
seolah-olah ditimpakan hanya kepada Prabowo seorang. Fadli mengatakan,
ia termasuk salah seorang dari sedikit orang yang mengatakan tuduhan
terhadap Prabowo itu tidak benar. Ia menganggap dirinya melawan arus
besar.
Prabowo Ingin Berperan Kembali
Sekjen Komite Independen
Pemantau Pemilu (KIPP), Mulyana W. Kusumah kepada pers mengatakan,
bahwa secara diam-diam mantan Pangkostrad Prabowo Subianto telah
membangun komunikasi politik dengan sejumlah elite politik terkemuka di
Tanah Air. Termasuk dengan Ketua MPR Amien Rais dan Presiden Abdurrahman
Wahid.
Memang, kata Mulyana, tidak ada jaminan kontak Prabowo dengan
tokoh-tokoh penting itu akan meredam masyarakat. Tuntutan masyarakat
berkaitan dengan kasus penculikan dan kerusuhan Mei yang disebut-sebut
melibatkan Prabowo, menurut Mulyana bakal terus bergulir. Masyarakat,
kata Mulyana, masih menempatkan Prabowo dalam daftar pejabat yang harus
diperiksa sehubungan kasus tersebut. Tapi, pertemuan-nya dengan Amien
Rais dan Gus Dur paling tidak bisa membentengi dirinya dari serangan
publik. Apalagi pertemuan itu sudah berlangsung tiga kali. Dampak
politik dari relasi tingkat "atas" itu sudah makin menguat.
Dalam
analisis Mulyana, pertemuan tersebut selain untuk menunjukkan kepedulian
Prabowo terhadap situasi dan kondisi politik di Tanah Air, juga guna
memuluskan keinginannya berperan kembali dalam kancah politik.
Menurut
Mulyana, pertemuan itu sebagai gambaran bahwa hubungan komunikasi
politik antara Prabowo dan elit politik nasional ternyata terus berjalan
dengan baik. Fakta ini sekaligus mengoreksi citra Prabowo yang
seolah-olah akan terkubur setelah disisihkan oleh pemerintah mantan
presiden Habibie.
Dari sudut pandangan politik, Mulyana beranggapan
pertemuan itu sedikitnya telah menunjukkan bahwa ada usaha dari Prabowo
untuk memperbaiki citra dirinya di mata masyarakat Indonesia.
Menurutnya,
bagaimanapun Prabowo merupakan representasi dari kekuatan politik
mantan presiden Soeharto. Dengan pertemuan itu, ia punya kepentingan
agar diterima kembali di masyarakat Indonesia. Terlepas dari
keterkaitannya dengan mantan penguasa Orde Baru itu.
Namun begitu,
menurut Mulyana, perjalanan Prabowo belum tentu semulus yang
dibayangkan. Karena masyarakat masih belum tentu menerimanya kembali,
bila dikaitkan dengan berbagai kasus yang dituduhkan kepadanya.
Setidaknya, Prabowo memang masih dibutuhkan untuk dimintai keterangan
tentang kasus-kasus penculikan, kata Mulyana.
Senin, 14 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar